"Demi Tuhan! Kamu tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi."
berondong sahabatku seperti meriam saja begitu aku buka pintu depan
menjawab ketukan tak sabarnya.
"Wah! Gosip murahan nih? Pasti bagus, kamu belum pernah bergairah
seperti ini sejak kamu tahu kalau anak laki-laki Prambodo seorang gay."
"Astaga, Lusi, aku hanya tak bisa percayai apa yang baru saja kulihat." Kami bergerak ke ruang keluarga. Aku duduk di tepi sofa.
"Kamu kelihatan seperti mau pecah, ceritakan saja." kataku menertawakan tingkah lakunya itu.
"Gini, aku pergi ke tempatnya keluarga Sihombing malam ini untuk menarik
uang iuran mereka. Ternyata, selera mereka pada perabotan rumah sangat
buruk. Kemudian, Silvi keluar untuk membukakan pintu lalu aku masuk.
Mereka mempunyai ruang makan dengan meja yang atasnya kaca. Lalu kita
duduk di sana dan aku membuka dokumen asosiasi untuk menunjukkannya dan
mengatakan padanya, kalau mereka bisa membayar semuanya sekaligus atau
empat kali setahun."
Ini terdengar menjengkelkan. Aku menyela.., "Jadi kamu lihat kalau mereka mempunyai mebel yang jelek. Sangat penting."
Sekarang aku harus menjelaskan. Kami tinggal di sebuah kompleks
perumahan yang mempunyai sebuah asosiasi pemilik rumah. Keluarga
Sihombing baru-baru ini pindah ke seberang jalan itu. Siska dan aku
berpikiran kalau mereka tidak sesuai di lingkungan perumahan ini.
Kebanyakan keluarga di sini berumur pertengahan tiga puluhan dan telah
mempunyai anak. Keluarga Sihombing adalah keluarga yang suaminya berumur
lebih tua dan isterinya jauh lebih muda dan tidak memiliki anak.
"Lusi, sst. Bukan mebel yang aku lihat. Silvi memanggil Martin untuk
membawa buku cek dan membayar uang iurannya dan membaca lalu
menandatangani dokumennya. Dan dia masuk ke dalam dengan memakai jubah
mandi putih itu, rambutnya basah, aku pikir mungkin baru saja keluar
dari kamar mandi. Dia duduk di seberangku dan saat dia mengambil dokumen
itu, aku sedang melihat menembus kaca meja ke kakinya. Kemudian dia
maju ke depan untuk menulis cek itu dan jubahnya tersingkap ke atas. Dia
sedang duduk di pinggir kursi dan kamu tahu apa yang sedang tergantung.
Maksudku tergantung. Saat dia bergerak, itu seperti diayunkan
maju-mundur. Tuhan itu seperti pisang daging besar berwarna seperti
ini." jelasnya sambil menunjuk buah pisang yang ada di atas meja di
ruang keluarga ini.
"Astaga, kamu melihatnya?"
"Hanya beberapa detik. Maksudku aku jadi sangat malu."
"Yah, benar. Hanya cukup lama untuk menceritakan itu terayun maju-mundur
dan besar seperti pisang". Sekarang kami berdua tertawa genit seperti
gadis sekolahan.
"Apa dia tahu kamu melihatnya? Bagaimana jika Silvi lihat kamu
memperhatikan suaminya? Tapi, itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikir,
maksudku hanya melihatnya sebentar kamu jadi merasa malu pasti kamu
tidak akan benar-benar mengetahui apa yang sedang kamu lihat."
"Temanku, itu memang besar!"
*****
Baiklah, aku pikir, dimulailah cerita ini.
Sekarang kamu mungkin memperoleh kesan kalau Siska dan aku adalah
sepasang ibu rumah tangga yang genit. Kamu mungkin berpikir, kalau kami
seperti seorang gadis remaja berumur sekitar lima belas tahun yang
sedang menggosip. Aku berumur 38 tahun tapi mungkin mempunyai sedikit
pengalaman dibanding putriku yang berumur enam belas tahun dan para
temannya.
Sedikit latar belakang tentangku. Aku dijuluki wanita mungil yang
cantik. Dengan postur tubuhku yang kecil, aku dengan mudah akan hilang
kalau berada dalam sebuah kerumunan. Aku harus mengakui menjadi 'agak
kecil' sering jadi bahan godaan teman-temanku. Di samping ukuran
kecilku, kupikir aku mempunyai wajah yang manis. Braku hanya berukuran
28A tetapi pada dadaku terlihat cukup besar dan aku sering dipuji kalau
pantat dan kakiku sangat indah. Siska dan aku pergi dengan rutin ke
tempat kebugaran wanita.
Suamiku dan aku lulus dari sekolah menengah dengan nilai memuaskan,
menikah tidak lama sesudah kami lulus. Kamu pasti sudah mengira itu. Aku
tidak pernah mencium orang lain selain suamiku. Maksudku ciuman serius.
Aku tidak menganggap diriku sangat sopan tetapi aku tidak pernah
berkata kotor. Tidak juga saat Tom dan aku sedang berhubungan seks, yang
tak terlalu sering. Seks pada dasarnya adalah bagaimana kita membuat
bayi.
Sekitar lima belas tahun perkawinan, aku mulai merasa resah dan bosan.
Ini bukan berarti aku tidak mencintai dua anak perempuanku dan Tom.
Segalanya sangat normal. Aku mulai membaca novel roman, dan kemudian
akan merasa berdosa tentang pemikiran pemikiran tidak tulus itu.
Dalam minggu setelah pertemuan dengan Siska itu, dia dan aku akan
kadang-kadang tertawa genit atas 'penglihatanya' akan kemaluan Martin
Sihombing (aku masih tidak katakan hal-hal seperti penis meskipun dengan
Siska). Tom dan aku juga mengenal keluarga Sihombing, hanya percakapan
antar tetangga tentang rumput halaman, cuaca, dan lain lain.
Pada bulan Desember, asosiasi mengadakan sebuah acara makan malam dan
dansa sebelum liburan. Tempat duduknya diatur sesuai dengan urutan
rumah. Sehingga keluarga Sihombing berada di meja yang sama dengan kita.
Siska ada pada meja yang berbeda. Ini adalah pertama kalinya kami
berada dengan mereka secara sosial.
Sekarang aku selalu pikir Martin Sihombing terlihat sangat biasa.
Mungkin dalam umur sekitar limapuluhnya dengan rambut penuh, beruban di
beberapa tempat. Dia sangat jangkung. Ini adalah pertama kalinya aku
lihat dia memakai jas, dan aku harus mengakui dia terlihat juga berbeda.
Silvi pada sisi lain, yang selalu nampak tak peduli dengan pakaiannya
terlihat aneh dalam gaun panjangnya, krah bajunya tinggi.
Makan malam dilewati dengan percakapan yang menyenangkan dan makanannya
sangat enak. Sesudah makan malam, musik mulai dimainkan dan Martin dan
Silvi langsung berada di lantai dansa itu. Setelah aku sedikit membujuk
Tom untuk berdansa tetapi dia hanya tahu dua gaya dansa. Martin dan
Silvi bergabung lagi dengan kami saat band sedang istirahat sejenak.
Saat band kembali, Martin mengajakku untuk berdansa. Aku mencoba untuk
menolaknya, mengatakan kalau Tom dan aku tidak begitu pandai berdansa.
Dia memaksa. Itu adalah sebuah dansa yang cepat dan dia segera membuatku
mengikuti tiap-tiap gerakannya. Lagu berakhir, aku menuju ke arah
kursiku dan kembali mendengar dia mengajakku lagi untuk lagu berikutnya.
"Oh, aku tidak bisa. Kamu dan Silvi terlalu bagus untukku, berdansalah dengan isterimu."
"Lusi, jangan coba menolak. Dia sudah membuat kakiku kecapaian, aku
pikir Marty perlu berganti pasangan dalam tiap lagu." Silvi berteriak
dari mejanya.
Baiklah, rasa engganku hanya melintas dalam kepalaku tapi aku kembali ke
lantai dansa menikmati Martin yang bergerak di sekelilingku. Lagunya
berakhir, dan dia memegang tanganku dengan enteng ketika lagu berikutnya
mulai.
"Ini satu lagu slow Lusi, kamu gimana dengan waltz?" tanyanya saat dia dengan lembut menarikku ke dalam posisi dansa.
Dia tidak menarikku terlalu rapat, dia memegangku dengan enteng dan dia
meluncur di sekitar lantai itu. Dia adalah seorang pedansa yang sangat
baik. Tanpa menyadari itu, aku ditarik semakin dekat padanya, tubuhku
sedikit menggeseknya. Kepalaku rebah di dadanya, payudaraku merapat di
bagian tengah tubuhnya. Kemudian aku merasakan itu. Itu keras, itu
sedang menekan perutku. Wow! Itu adalah kemaluannya, kemaluannya yang
ereksi. Aku yakin itu.
Aku mundur, sedikit melompat, hanya refleks. Kamu tidak mau merasakan
ereksinya pria asing. Dia tetap menari seolah-olah tidak ada yang
terjadi. Dia tidak lagi menarik aku mendekat, tidak membuat aku merasa
gelisah. Aku mulai meragukan pemikiranku, itu hanya saja imajinasiku
yang berlebihan.
Aku bersandar padanya lagi. Seperti sebelumnya, payudaraku bersentuhan
dengannya, aku merasakan menggesek tubuhnya. Kemudian perutku juga. Kali
ini aku tidak mundur dengan seketika. Aku hanya ingin pastikan bahwa
apa yang sedang aku rasakan adalah kemaluannya. Aku menggerakkan
badanku, menggosok perutku ke dia, itu terasa keras. Itu memang benar
kemaluannya, kemaluannya yang ereksi.
"Wow! Apa yang sedang kulakukan?", pikirku.
Dansa berakhir. Dia tetap memegang tanganku tapi kali ini aku menarik
dia kembali ke meja kami. Sudah cukup. Tidak ada lagi dansa dengan dia
pikirku. Tidak ada yang nampak berubah setelah makan malam dan dansa
itu. Kita tetap mempunyai 'percakapan antar tetangga' yang sama dengan
keluarga Sihombing itu. Aku tidak menceritakan kepada Siska apa yang
telah terjadi. Baiklah, satu hal telah berubah. Aku menemukan diriku
memikirkan tentang dansa itu, tentang Siska yang melihat penisnya,
tentang perasaan payudaraku yang tergesek tubuhnya.
*****
Tahun baru hampir tiba. Sebagian dari pemilik rumah mulai membicarakan
rencana Pesta Tahun Baru. Hanya sekitar separuh dari kelompok yang
memutuskan untuk melakukannya, maka kita akhirnya membuat pesta dan
musik di dalam aula rekreasi masyarakat. Tom menyukai gagasan tersebut
sebab dia tidak begitu suka pergi ke luar. Makanannya seadanya saja yang
disajikan setelah itu kita putar sebuah rekaman tua dan berdansa.
Aku katakan pada diriku agar tidak mengulangi peristiwa di pesta
sebelumnya, tetapi saat Silvi meminta dengan tegas bahwa aku harus
memberinya kesempatan istirahat setelah berdansa dengan suaminya dan aku
tidak bisa katakan tidak padanya. Sama dengan dulu, musik mulai dengan
lagu yang cepat dan kemudian seseorang menggantinya dengan sebuah nomor
lambat. Seakan seperti ada setan kecil yang sedang duduk di bahuku dan
berkata, 'Lakukan Lusi'. Akhirnya aku tidak menentangnya ketika Martin
meletakkan tangannya pada pinggangku dan mulailah kita bergerak di
lantai itu. Seseorang mematikan lampunya.
Ke Bagian 2